Kehidupan masyarakat pada dasarnya selalu mengalami perubahan-perubahan karena tidak ada masyarakat yang stagnan (tetap) sesederhana apapun masyarakat itu. Perubahan-perubahan masyarakat itu itu dapat berupa nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi,susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya. Namun demikian perubahan-perubahan bukanlah semata-mata berarti suatu kemajuan (progress) namun dapat pula terjadi kemunduran dari bidang-bidang kehidupan tertentu. Perubahan dapat terjadi sebagai akibat dari adanya suatu pembangunan seperti halnya di indonesia.
Negara indonesia adalah salah satu negara yang sedang berkembang ke arah modernisasi untuk membangun ekonomi. Hal ini dapat dilihat dengan semakin banyak dan meluasnya industrialisasi dan peradaban tekhnologi modern. Peradaban modern dan industrialisasi ini ditandai dengan adanya pergeseran dari masyarakat yang semula agraris menuju ke masyarakat industri, dan hal ini berdampak pada perubahan pola kehidupan keluarga di indonesia. Dalam masyarakat agraris, hubungan kekerabatan sangat erat sekali, sebab keluarga merupakan keluarga besar (extendeed family), mereka tinggal dalam satu rumah dan makan bersama. Sedang dalam masyarakat industri keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang belum menikah (nuclear family), mereka harus bertanggung jawab atas keluarganya sendiri-sendiri, sebab urbanisasi yang merupakan salah satu akibat dari industrialisasi membuat mereka tidak dapat tinggal bersama lagi dengan sanak keluarga lain. Sehingga enggan sendirinya hubungan kekerabatan menjadi semakin mengendur.
Demikian pula dalam aktivitas ekonomi, pada msyarakat agraris keluarga berfungsi membuat barang-barang produksi dan konsumsi untuk keluarga sendiri, dimana dalam proses produksi semua anggota keluarga akan dilibatkan sebab selain menghemat juga menekan biaya pengeluaran tenaga tambahan sehingga semakin banyak anak berarti keluarga semakin sejahtera. Sedangkan dalam masyarakat industri, pabrik-pabrik telah mengambil alih segala produksi barang-barang sehingga untuk penghematan jumlah anak perlu dipertimbangkan apalagi dengan semakin sulitnya perumahan dan mahalnya biaya pendidikan. Dengan berubahnya pola kehidupan keluarga tersebut maka dengan sendirinya peranan masing-masing anggota keluarga juga mengalami perubahan. Misalnya, dulu dalam masyarakat agraris peranan suami atau ayah sangat dominan sedang istri hanya sebagai pembantu (konco winking) dan anak-anak adalah obyek yang harus tunduk sepenuhnya kepada ayah. Namun sejak adanya industrialisasi dan adanya kemajuan di bidang pendidikan maka peran istri tidak lagi sebagai pembantu (konco winking), tetapi sebagai partner (teman) yang tidak tergantung sama sekali pada suami karena dengan adanya pendidikan yang istri maka istri dapat mencari nafkah sendiri. Demikian pula dalam hubungan orang tua dengan anak juga menjadi lebih demokratis, misalnya dalam menentukan jodoh kalau dulu ada yang menentukan orang tua sekarang dapat memilih sendiri. Dengan demikian, struktur keluarga dan pola interaksi antar anggota keluarga juga mengalami perubahan.. disamping itu perubahan-perubahan sebagai akibat peradaban modern juga telah membawa dampak pada perkembangan individualisme dan sekulerisme yang menganggap “AKU“ dan “kebutuhan material” sebagai pusat dari segalanya atau boleh dikatakan sebagai nilai yang paling tinggi, sehingga tuhan dan sesama kurang mendapat tempat. Maka dari itu keberhasilan hidup seseorang tidak dapat di ukur bagaimana dia mewujudkan nilai-nilai manusiawi dan keagamaan dalam kehidupan sehari-hari tetapi dapat diukur dari pengikat, kekayaan dan harta benda yang dimilikinya (Hadimubrata 1992: 24)
Pandangan semacam ini membuat orang cenderung untuk berlomba dalam mencari keuntungan yang sebesar-besarnya demi terkumpulnya harta benda yang sebanyak-banyaknya sehingga hubungan pribadi menjadi tidak penting karena orang lain adalah saingan yang harus dikalahkan. Dengan demikian dalam segala hal usaha yang terpenting adalah hasil yang dicapai, nilai-nilai manusiawi dan keagamaan dikesampingkan. Bahkan hubungan dengan masing-masing anggota keluarga juga menjadi berkurang karena masing-masing disibukkan dengan usaha mencari uang yang tidak sekedar untuk mencukupi kebutuhan saja, akan tetapi demi kehidupan yang mewah dan gengsi di mata masyarakat. Akibat kondisi ini maka kebersamaan, ketergantungan, dan rasa saling membutuhkan dari masing-masing pihak (suami/istri) yang menjadi dasar dalam menjaga kelanggengan kehidupan perkawinan menjadi berkurang. Sehingga akhirnya perbedaan yang sederhana antara suami-istri bisa saja menjadi penyebab perceraian Tolstoy (dalam artikel budaya: 22) menulis,
“ salah satu penyebab perceraian ialah adanya kebebasan tanpa batas bagi kaum wanita untuk memilih pekerjaan apapun, meskipun hal tersebut bertentangan dengan kodrat alami mereka. Disamping itu zaman mesin juga ikut menambah ketegangan dan mencampakkan wanita dan lelaki dalam hubungan yang tidak legal dan menimbulkan kecemburuan dalam keluarga “
Dengan adanya perubahan pola dan dan peranan dalam keluarga ini maka tidak jarang menimbulkan konflik yang mengarah pada runtuhnya perkawinan. Oleh karena itu akhir-akhir ini kita sering mendengar maraknya tayangan-tayangan di infotainment atau berita yang menyiarkan artis (public figure) yang mengakhiri perkawinannya melalui meja pengadilan. Bahkan 80% gugatan didominasi oleh pihak istri, namun demikian fenomena perceraian yang marak terjadi bukan hanya di kalangan artis saja. Di dalam keluarga sederhana atau bahkan di dalam dunia pendidik juga banyak terjadi perceraian. Dengan berbagai masalah perceraian yang terjadi di indonesia, hal ini menunjukkan bahwa nilai dan norma mengenai perceraian telah mengalami perubahan. Beberapa waktu yang lalu masyarakat menganggap bahwa perceraian merupakan sebuah kegagalan dalam rumah tangga yang dampaknya juga turut mempengaruhi nilai kehormatan bahkan status bagi seorang perempuan yang disebut dengan “janda” karena status tersebut dianggap memalukan dan menimbulkan kecurigaan.
Namun demikian saat ini masyarakat tidak lagi melihat perceraian sebagai sesuatu yang memalukan dan harus dihindarkan tetapi masyarakat dapat memahami perceraian sebagai salah satu langkah untuk menyelesaikan kemelut keluarga yang terjadi diantara pasangan suami istri. Dengan gambaran tersebut kesakralan dan makna perkawinan seolah-olah sudah tidak berarti bahkan mereka juga tidak lagi mempertimbangkan bagaimana dampak negatif keputusan bagi anak-anak mereka. Karena walaupun perceraian ini dapay diselesaikan dengan baik dan damai oleh orang tua namun tetap saja hal tersebut menimbulkan masalah bagi anak-anak mereka. Dan di dalam suatu perceraian masa ketika perceraian terjadi merupakan suatu masa yang kritis dan menakutkan bagi anak-anak, terutama menyangkut hubungan dengan orang tuanya yang tidak tinggal bersama. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam batin anak karena selama ini anak sudah terbiasa melihat keberadaan orang tuanya bersama-sama dalam keseharianya, sehingga dalam diri anak sudah tertanam kuat pemahaman untuk menyayangi kedua orang tuanya.
Tentunya masih sangat banyak sekali berbagai dampak yang disebabkan oleh perceraian entah itu dampak bagi anak ataupun yang berdampak bagi hal-hal yang lain. Dan seperti halnya perkawinan, perceraian juga merupakan suatu proses yang didalamnya menyangkut banyak aspek seperti ekonomi, emosi, sosial dan pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui hukum yang berlaku. Dari hasil studi perbandingan tentang perceraian di negara-negara berkembang. Murdock (1950) menyimpulkan bahwa setiap masyarakat terdapat institusi/lembaga yang menyelesaikan proses berakhirnya suatu perkawinan (yang disebut sebagai perceraian) sama halnya dengan mempersiapkan suatu perkawinan. Perkawinan merupakan suatu babak baru bagi individu untuk memulai kewajiban dan berbagi peran dengan pasanganya.
Namun oleh goode dikatakan bahwa setiap masyarakat mempunyai definisi yang berbeda tentang konflik antara pasangan suami istri serta cara penyelesaianya. Goode sendiri berpendapat bahwa pandangan yang menganggap perceraian merupakan suatu “kegagalan” adalah bias karena semata-mata mendasarkan perkawinan pada cinta yang romantis. Padahal semua sistem perkawinan paling sedikit terdiri dari dua orang yang hidup dan tinggal bersama dimana masing-masing memiliki keinginan, kebutuhan, nafsu, serta latar belakang dan nilai sosial yang bisa saja berbeda satu sama lain. Akibatnya sistem ini bisa memunculkan ketegangan-ketegangan dan ketidakbahagiaan yang dirasakan oleh semua anggota keluarg. Karenanya apabila terjadi sesuatu dengan perkawinan (misalnya perceraian) maka akan timbul masalah-masalah yang harus dihadapi baik oleh pasangan yang bercerai mauppun anak-anak serta masyarakat di wilayah terjadinya perceraian.
Fungsi peran menentukan tugas dan kewajiban individu dalam membentuk suatu keluarga yang harmonis. Namun terbentuknya suatu keluarga yang harmonis tidak langsung begitu saja tanpa kesadaran dan individu untuk saling memahami dan pengertian akan hak dan kewajibannya sebagai seorang suami istri di dalam suatu pernikahan. Dalam pernikahan pasangan akan dihadapkan pada suatu permasalahan yang kompleks dan rumit. Oleh karena itu jika di dalam suatu masalah tersebut pasangan suami istri tidak dapat menyelesaikan masalahnya itu maka yang terjadi adalah akan terjadi suatu perceraian. Terlepas dari berbagai masalah dalam perkawinan, perlu dikaji kembali makna dari perkawinan tersebut. Perkawinan merupakan suatu upaya untuk menciptakan ketenangan, kedamaian dan juga rasa aman. Tetapi, hal tersebut tidaklach semudah yang dibayangkan. Oleh karena itu individu yang tidak dapat menyesuaikan dan tidak bisa mengatasi masalah keluarganya sendiri maka yang terjadi adalah putusnya suatu hubungan perkawinan/perceraian. Didalam suatu perpecahan didalam suatu perkawinan maka dapat di jabarkan dengan berbagai teori-teori yang dapat menjelaskan konflik terutama kasus perceraian. Ada beberapa teori diantaranya adalah :
1. Teori pertukaran dimana teori pertukaran memandang dalam sosiologi melihat perkawinan sebagai suatu proses pertukaran antara hak dan kewajiban serta “penghargaan dan kehilangan” yang terjadi diantara sepasang suami istri. Oleh karena perkawinan merupakan proses integrasi dua individu yang hidup dan tinggal bersama, sementara latar belakang sosial budaya, keinginan serta kebutuhan mereka berbeda, maka proses pertukaran dalam perkawinan ini harus senantiasa dirundingkam serta disepakati bersama. Scanzoni & Scanzoni (1981) menggambarkan situasi dan kondisi menjelang perceraian yang diawali dengan “mandeknya” proses negosiasi antara pasangan suami-istri. Akibatnya, pasangan tersebut sudah tidak bisa lagi menghasilkan kesepakatan yang dapat memuaskan masing-masing pihak. Mereka seolah-olah tidak dapat lagi mencari jalan keluar yang baik bagi mereka berdua. Diantara mereka muncul perasaan-perasaan bahwa pasanganya :
- Mencoba untuk memulai memaksakan kehendaknya sendiri
- Mencari-cari kesalahan pasanganya
- Lebih mengupayakan terjadinya konflik daripada mencari jalan keluar untuk kepentingan bersama
- Mencoba untuk menunjukkan kekuasaanya
Perasaan-perasaan tersebut kemudian menumbuhkan rasa permusuhan dan kebencian diantara kedua belah pihak. Kondisi demikian sejalan dengan semakin menghilangnya pujian serta penghargaan yang diberikan kepada pasangan. Padahal pujian dan penghargaan yang diberikan kepada pasangan suami-istri merupakan dukungan emosional yang sangat diperlukan dalam suatu perkawinan. Hal-hal tersebut diatas mengakibatkan hubungan suami istri semakin jauh dan memburuk. Mereka semakin sulit untuk berbicara dan berdiskusi bersama serta merundingkan masalah-masalah yang perlu dicari jalan keluarnya. Masing-masing pihak kemudian merasa bahwa pasanganya sebagai “orang lain”. Akibatnya, alternatif kegiatan diluar rumah dan di luar kebiasaan mereka sebagai pasangan suami-istri menjadi lebih menarik. Bagi mereka yang sedang mengalami krisis dalam perkawinanya. Scanzoni & Scanzoni menyebutkan bahwa situasi dan kondisi yang demikian merupakan “peringatan” akan kemungkinan terjadinya perceraian.
2. Teori konflik yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf. Dia mengemukakan bahwa masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya. Kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap stuktur. Karena wewenang itu adalah sah, maka setiap individu yang ada akan terkena sanksi. Dengan demikian masyarakat disebut oleh dahrendorf sebagai: persekutuan yang terkoordinasi secara paksa (imperatively coordinated associations). Oleh karena kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara pengusa dan yang dikuasai maka dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan. Jika dilihat dari teori yang dikemukakan dahrendorf diatas memang benar adanya karena di dalam suatu masyarakat yang ada di indonesia yang masih menganggap bahwa laki-laki adalah segalanya(seorang pemimpin) membuat suatu hubungan di dalam suatu keluarga selalu menimbulkan suatu konflik dan ketegangan, karena pada saat di dalam suatu keluarga yang menyebut bahwa laki-laki adalah kepela keluarga dan seorang pemimpin membuat di dalam suatu keluarga ada yang menguasai dan dikuasai. Sehingga dalam hal ini ke dua suami-istri akan selalu terjadi pertentangan untuk sang istri menuntut hak-haknya yang telah dirampas oleh sang suami. Dan jika sudah terjadi pertentangan yang terjadi terus menerus maka secara tidak sadar rasa sayang dan cinta diantara keduanya telah mulai memudar dan hal ini akan mempermudah kedua suami istri untuk cepat melakukan perceraian.
Dalam analisa yang dilakukan oleh weber terhadap masyarakat, konflik menduduki tempat sentral; konflik merupaka unsur-unsur dasar kehidupan manusia. Pertentangan tidak dapat dilenyapkan dari kehidupan manusia. Orang dapat mengubah sarana-sarananya, obyeknya, arah dasar atau pendukung-pendukungnya, tetapi orang tidak dapat membuang konflik itu sendiri. (Laeyendecker, 1963)
Jelasnya, konflik adalah merupakan suatu mekanisme yang mendorong perubahan. Konflik berpengaruh efektif terhadap seluruh tingkat realitas sosial. Bahkan hasil penelitian. Pada tingkat individu, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa perkembangan kecerdasan logika anak-anak dapat dipercepat melalui penciptaan konflik kognitif secara sengaja. Dan yang paling efektif diantara 6 organisasi industri plastik juga mengalami masalah integrasi paling gawat dan derajat konflik yang paling tinggi. (lauer, 1989)
3. Teori fungsionalisme struktural yang dikemukakan oleh Robert k. Merton. Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak ada fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya. Kalau terjadi konflik penganut teori fungsionalisme struktural memusatkan perhatianya kepada masalah bagaimana cara menyeleseikanya hingga masyarakat tetap dalam kondisi seimbang. Robert k. Merton juga berpendapat bahwa obyek analisa sosiologi adalah fakta sosial seperti: peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial dan sebagainya. Jika teori diatas dikaitkan dengan permasalahan yang dibahas terutama masalah perceraian, kita tahu bahwa fungsionalisme struktural adalah sesuatu yang membahas suatu sistem yang ada di dalam suatu masyarakat yang jika terganggu maka yang terjadi adalah ketidakseimbangan (disequilibrium) dan kegoyahan di dalam masyarakat. Dan jika dilihat dari suatu sistem di dalam suatu keluarga maka jika antara suami dan juga istri berada di dalam posisi yang kontra/berlawanan dengan apa yang seharusnya dikerjakan maka yang terjadi adalah terjadinya kegoyahan di dalam suatu keluarga, dan jika hal tersebut terjadi terus-menerus maka yang terjadi adalah terjadinya sistem keluarga tersubut dan akan terjadi suatu kerusakan di dalam keluarganya.
4. Teori perubahan sosial yang dikemukakan oleh beberapa ahli diantaranya adalah :
1. Kingsley davis mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.
2. Mac Iver perubahan sosial dikatakannya sebagai perubahan-perubahan dalam hubungan sosial (social relationships) atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial.
3. Selo soemardjan berpendapat bahwa perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola prilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
4. William F. Ogburn mengungkapkan ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun yang immateria, yang ditekankan adalah pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur immaterial
Dari beberapa teori yang dikemukakan para ahli naka pada dasarnya perubahan sosial merupakan suatu perubahan yang mengakibatka perubahan dari berbagai sendi-sendi kehidupan. Dan maka jika dikaitkan dengan masalah diatas maka suatu perubahan sosial yang dapat menyebabkan perubahan yang terjadi di dalam sendi-sendi kehidupan membuat seseorang tidak lagi berada di dalam suatu sistem yang telah ditentukan masyarakat dan akan selalu mencoba agar para individu memperoleh apa yang diinginkan. Seperti halnya yang tejadi di dalam suatu lembaga keluarga dimana sekarang tidak hanya sekedar suami saja yang bekerja, akan tetapi kaum ibu/perempuan juga sudah banyak yang ikut membantu bekerja dan malah menjadi wanita karir. Dan kondisi semacam ini mengakibatkan sudah tidak berfungsinya lembaga keluarga yang mentebut kaum perempuan sebagai konco winking. Dan dalam kondisi ini pula akan terjadi suatu kondisi dimana para suami-istri akan melakukan hal-hal untuk saling menjatuhkan antar keduanya.
5. Teori Modernisasi yang menyatakan bahwa tingginya tingkat perceraian merupakan produk dari industrialisasi dan urbanisasi (Norton & Glick, 1977, John Peters, 1979, Scanzoni & Scanzoni, 1981). Menurut mereka, modernisasi dapat memudarkan ideologi, kultur serta batas-batas kebangsaan suatu negara. Modernisasi menyebabkan timbulnya saling ketergantungan yang tinggi antarnegara yang mempunyai kesamaan struktur. Konsekuensi dari ketergantungan dan kesamaan struktur tersebut tidak hanya berlaku pada distribusi energi, tingkat inflasi serta alokasi bahan-bahan mentah, tetapi juga pada perkawinan, keluarga serta pola-pola perceraian. Hal yang perlu dicatat menurut mereka adalah semakin besarnya tuntutan kaum wanita terhadap otonomi, keadilan hak-hak dengan imbalan yang mereka terima.
Hal-hal iatas merupakan teori-teori tentang terjadinya suatu perceraian. Dan sebelum kita mengetahui lebih lanjut mengapa perceraian bisa terjadi maka dalam hal ini kita akan mengkaji terlebih dahulu apa itu keluarga. Keluarga sendiri merupakan unit pergaulan hidup yang terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami/ayah, istri/ibu dan anak-anak yang belum menikah. Di samping keluarga terdapat unit-unit pergaulan hidup lainya, misalnya keluarga luas (extended family), komunitas (community) dan lain sebagainya. Sebagai unit pergaulan hidup terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki peranan-peranan tertentu. Peranan-peranan itu adalah, sebagai berikut :
a) Keluarga berperan sebagai pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi anggota, dimana ketentraman dan ketertiban diperoleh dalam wadah tersebut.
b) Keluarga merupakan unit sosial-ekonomis yang secara materiil memenuhi kebutuhan hidup anggota-anggotanya.
c) Keluarga menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup.
d) Keluarga merupakan wadah dimana manusia mengalami proses sosialisasi awal, yakni suatu proses dimana manusia mempelajari dan mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Dari beberapa peranan tersebut diatas, nyatalah betapa pentingnya keluarga terutama bagi perkembangan kepribadian seseorang. Gangguan pada pertumbuhan kepribadian seseorang mungkin disebabkan pecahnya kehidupan keluarga secara fisik maupun mental. Diindonesia peranan keluarga semakin terutama di kota-kota. Di wilayah pedesaan yang sulit menutup diri terhadap pengaruh kota, peranan yang sulit menutup diri terhadap pengaruh kota, peranan keluarga juga semakin penting. Semula keluarga luas (extended family) memang lebih berperan, kelompok-kelompok kekerabatan. Misalnya, lebih berperan karena secara tradisional memang demikian halnya. Secara tradisional hubungan darah lebih penting daripada hubungan perkawinan, walaupun perkawinan merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan hubungan darah tersebut. Karena keluarga dianggap sangat penting dan menjadi pusat perhatian kehidupan individu, maka dalam kenyataanya fungsi keluarga pada masyarakat adalah sama. Secara rinci, beberapa fungsi dari keluarga adalah :
1. Fungsi pengaturan keturunan
2. Fungsi sosialisasi atau pendidikan
3. Fungsi ekonomi atau unit produksi
4. Fungsi pelindung/proteksi
5. Fungsi penentuan status
6. Fungsi pemeliharaan dan
7. Fungsi afeksi
Fungsi pengaturan keturunan: dalam masyarakat orang telah terbiasa dengan fakta bahwa kebutuhan seks dapat dipuaskan tanpa adanya prekreasi (mendapatkan anak) dengan berbagai cara misalnya, kontrasepsi, abortus, dan teknik lainya. Meskipun sebagian masyarakat tidak membatasi seks pada perkawinan, tetapi semua masyarakat setuju bahwa keluarga akan menjamin reproduksi.
Fungsi sosialisasi dan pendidikan: fungsi ini adalah untuk mendidik anak mulai dari awal sampai pertumbuhan anak hingga terbentuk personalnya. Anak-anak itu lahir tanpa bekal sosial, agar si anak dapat berpartisipasi maka harus disosialisasi oleh orang tuanya tentang nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Fungsi ekonomi atau unit produksi: urusan-urusan pokok untuk mendapatkan suatu kehidupan di laksanakan keluarga sebagai unit-unit produksi yang sering kali dengan mengadakan pembagian kerja di antara anggota-anggota. Jadi, keluarga bertindak sebagai unit yang terkoordinir dalam produksi ekonomi.
Fungsi pelindung: fungsi ini adalah melindungi seluruh anggota keluarga dari berbagai bahaya yang dialami oleh keluarga. Dengan adanya suatu negara, maka fungsi ini banyak diambil alih oleh instansi negara.
Fungsi penentuan status: jika dalam masyarakat terdapat perbedaan status yang besar, maka keluarga akan mewariskan statusnya pada tiap-tiap anggota atau individu sehingga tiap-tiap anggota keluarga mempunyai hak-hak istimewa.
Fungsi pemeliharaan: keluarga pada dasarnya berkewajiban untuk memelihara anggota-anggota yang sakit, menderita dan tua. Fungsi pemeliharaan ini pada setiap masyarakat berbeda-beda. Akan tetapi setiap sebagian masyarakatmembebani keluarga dengan pertanggungjawaban khusus terhadap anggotanya bila mereka tergantung pada masyarakat.
Fungsi afeksi: salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan kasih sayang atau rasa dicintai.
Dan dengan berbagai fungsi-fungsi yang ada di dalam suatu keluarga pastilah terjadi suatu konflik. Dan dua masalah yang sosial yang biasanya dialami dan terjadi dalam keluarga manapun adalah broken home dan perceraian. Untuk mengetahui proses perceraian kita lihat dulu melihat masalah yang terjadi sebelumnya yaitu broken home.
Semua orang menganggap bahwa perkawinan itu merupakan hal yang sakral dan diberkati oleh kaum ulama. Biasanya perkawinan ini hanya dapat berakhir karena kematian. Berdasarkan anggapan inilah maka setiap keluarga berusaha untuk menjaga keutuhan keluarganya. Karena salah satu faktor yang mempengaruhi jalanya fungsi-fungsi keluarga adalah kebutuham dari keluarga. Jika keluarga tidak dapat menjaga ketuhanya, maka keluarga yang bersangkutan akan mengalami apa yang dinamakan broken home. Yang dimaksud dengan keutuhan keluarga, yaitu keutuhan struktur dalam keluarga di mana keluarga, disamping adanya seorang ayah, juga adanya seorang ibu besrta anak-anaknya. Selain itu juga adanya keharmonisan dalam keluarga dimana di antara anggota keluarga itu saling bertemu muka dan saling berinteraksi satu dengan yang lainya. Dalam keluarga yang broken home, di mana sering terjadi percekcokan diantara orang tua dan sikap saling bermusuhan disertai tindakan-tindakan yang agresif, maka dengan sendirinya keluarga yang bersangkutan akan mengalami kegagalan-kegagalan dalam menjalankan fungsi-fungsi keluarga yang sebenarnya.
Kegagalan-kegagalan dalam menjalankan fungsi keluarga dapat disebabkan karena beberapa faktor. Adapun beberapa faktor-faktor yang menyebabkanya, antara lain adalah sebagai berikut :
- Faktor pribadi. Dimana suami-istri kurang menyadari akan arti dan fungsi perkawinan yang sebenarnya. Misalnya, sifat egoisme, kurang adanya toleransi, kurang adanya kepercayaan satu sama lain.
- Faktor situasi khusus dalam keluarga. Beberapa diantaranya adalah :
a) Kehadiran terus menerus dari salah satu orang tua baik dari pihak suami ataupun istri.
b) Karena istri bekerja dan mendanbakan kedudukan yang lebih tinggi dari suaminya.
c) Tinggal bersama keluarga lain dalam satu rumah
d) Suami-istri sering meninggalkan rumah karena kesibukan di luar.
Faktor-faktor yang telah disebutkan diatas inilah yang menyebabkan fungsi-fungsi keluarga tidak dapat berjalan semestinya, antara lain :
1. Fungsi kebutuhan seks dan reproduksi, yaitu suami-istri tidak betah tinggal dirumah serta timbul sikap dingin dan masa bodoh dari pihak istri dalam memenuhi kebutuhan seksual.
2. Fungsi pemeliharaan, dimana orang tua kehilangan atau kurang menjadi kebutuhan psikologis anak.
3. Fungsi sosialisasi, dimana anak-anak menjadi terlantar akibat kurang mendapat perhatian dari orang tua serta,
4. Fungsi keluarga lainya tidak dapat dijalankan dengan baik.
Selain hal-hal diatas yang menyebabkan broken home, masih ada faktor-faktor yang dapat untuk menghindari terjadinya broken home terutama ialah kokohnya perkawinan dalam keluarga dan menghindari gangguan-gangguan serta ancaman-ancaman yang ada di dalam suatu keluarga. Dan setelah terjadinya suatu broken home atau perpecahan/konflik di dalam suatu rumah tangga maka yang terjadi adalah terjadinya suatu perceraian. Di dalam pembahasan ini sebelum kita mengetahui lebih lanjut mengenai perceraian, sebelumnya kita harus mengetahui apa iti perceraian. Perceraian di dalam tulisan ini adalah cerai hidup antara pasangan suami-istri sebagai akibat kegagalan mereka menjalankan obligasi peran masing-masing. Dalam hal ini, perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami-istri kemudian hidup berpisah secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku. Ada beberapa faktor tentang masalah perceraian seperti diketahui bahwa putusnya suatu perkawinan disebabkan karena adanya salah satu pihak meninggal dunia atau karena perceraian. Mengenai perceraian, ada masyarakat yang mengizinkan berdasarkan kebudayaan, akan tetapi pada umumnya hampir semua masyarakat menentangnya, terutama dari mereka yang menganut agama kristen. Mereka beranggapan bahwa perkawinan hanya dapat diputuskan apabila salah satu dari suami-istri meninggal dunia. Pada umumnya kebudayaan primitif mengenal perceraian tanpa mengemal adanya prosedur yang menyulitkan, akan tetapi ada juga kebudayaan primitif yang melarang sama sekali adanya perceraian.
Akibat dari perceraian sangat dirasakan oleh keluarga inti, sedangkan pada keluarga kerabat akibat dari suatu perceraian tidak begitu berat terasakan. Dalam keluarga kerabat, dimana kedudukan suami-istri tunduk pada garis keturunan, maka walaupun terjadi perceraian keluarganya masih tetap utuh. Sebaliknya dengan keluarga inti yang didasarkan pada perkawinan, maka bila terjadi perceraian akan berat sekali akibatnya, misalnya mengenai sosialisasi anak, pembagian harta warisan, pencari nafkah dan masalah yang disebabkan oleh perceraian lainya. Dengan akibat ini meskipun perceraian diperbolehkan maka buka berarti bahwa masyarakat membenarkan atau menyenangi adanya perceraian. Oleh karena itu kemudian perceraian diatur oleh undang-undang. Adapun alasan-alasan perceraian yang apabila ditentukan oleh kitab undang-indang hukum perdata adalah apabila salah satu pasangan baik suami ataupun istri mengalami hal-hal berikut : (1) ditinggalkan dengan sengaja, (2) mendapatkan hukuman lebih dari lima tahun karena telah melakukan tindak kejahatan dan, (3) mengalami penganiayaan yang berat.
Tentu bukan masalah-masalah yang disebutkan diatas saja yang menyebebkan suatu perceraian, akan tetapi ada hal yang lain yang menjadi faktor penting dalam perceraian, seperti misalnya adalah kurang adanya pembagian peran diantara suami istri di dalam suatu keluarga. Dimana hal ini dilihat pada saat melakukan kegiatan yang dilakukan oleh keduanya, tugas seorang suami adalah bekerja dan mencari nafkan untuk keluarga sedangkan para istri bekerja di dapur dan menunggu suaminya pulang dengan menunggu hasil apa yang diperoleh suaminya saat bekerja. Setelah bekerja suami pun akan istirahat dan melakukan hal apa saja yang diinginkan karena dia telah bekerja dan telah menyelesaikan tugas utamanya. Sedangkan sang istri akan selalu bekerja di dapur untuk melayani sang suami karena memang itulah pekerjaan utama dari sang istri contoh diatas merupakan sutu pandangan budaya dari masyarakat indonesia. Akan tetapi dalam keadaan sekarang dimana telah terjangkit dengan sesuatu yang bernama modernisasi, hal diatas pun berubah antara suami dan istri karena sekarang sudah banyak yang melakukan suami melakukan pekerjaan rumah atau sebaliknya dan kadang keduanya bekerja bersama. Hal inilah yang menimbulkan masalah antara keduanya dimana mereka saling klaim kekuatan dalam bekerja. Sang istri cemburu apa yang dilakukan suami yang setelah bekerja langsung tidur atau melakukan hal yang disukainya sedangkan sang istri harus kembali ke dapur dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainya walaupun sang istri juga bekerja. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kecemburuan sang istri yang jika sudah capek dan lelah setelah bekerja bukanya istirahat akan tetapi masih bekrja di dapur untuk keluarganya. Dalam kondisi semacam ini aroma konflik pun akan mudah sekali muncul dan jika telah terjadi konflik dan percekcokan terus-menerus di dalam keluarga maka perceraian pun tidak akan bisa terhindar, karena masing-masing pihak tidak ada yang mau mengalah dan rasa cinta dan kasih sayang antara keduanya pun akan memudar.
Adapaun sebab-sebab terjadinya perceraian dengan mengambil sampel 600 pasangan suami-istri yang mengajukan perceraian diamana mereka ini paling sedikit mempunyai satu orang anak dibawah usia 14 tahun, George Levinger pada tahun 1966 menyusun 12 kategori keluhan yang diajukan yaitu :
1. Karena pasanganya sering mengabaikan kewajiban terhadap rumah tangga dan anak, seperti jarang pulang ke rumah, tidak ada kepastian waktu berada di rumah, serta tidak adanya kedekatan emosional dengan anak ataupun dengan pasanganya.
2. Masalah keuangan (tidak cukupnya penghasilan yang diterima untuk menghidupi keluarga dan kebutuhan rumah tangga)
3. Adanya penyiksaan fisik terhadap pasangan
4. Pasanganya sering berteriak dan mengeluarkan kata-kata kasar serta menyakitkan untuk pasanganya.
5. Tidak setia, seperti punya kekasih lain, dan sering berzina denga orang lain (selingkuh)
6. Ketidakcocokan dalam masalah hubungan seksual dengan pasanganya, seperti adanya keengganan atau sering menolak melakukan senggama dan tidak bisa memberikan kepuasan.
7. Sering mabuk.
8. Adanya keterlibatan/campur tangan dan tekanan sosial dari pihak kerabat pasanganya
9. Sering mun.culnya kecurigaan. Kecemburuan serta ketidakpercayaan dari pasanganya.
3 komentar:
sudah bagus
.perceraian bagi saya bukan merupakan suatu kesalahan yang dilakukan oleh sang istri maupun suami, namun memang ketidakcocokanlah yang membuat mereka berpisah dan memilih jalan terbaik bagi masing-masing pihak agar tidak terjadi masalah yang berlarut-larut...mksh
Memang dalam sebuah peceraian tidak seharusnya saling menyalahkan satu sama lain.Tetapi hanya satu yang dibutuhkan, yaitu saling instropeksi diri masing-masing.
Posting Komentar